Mengapa Orang Sering Melupakan Kebaikan dan Bagaimana Kita Menyikapinya

Seberapa sering kita kecewa terhadap orang lain karena melupakan kebaikan kita? Padahal rasanya baru kemarin kita berbuat baik kepadanya. Namun apakah memang dunia sekejam itu? Mari kita coba urai apa yang bisa saja sebenarnya terjadi dari fenomena kekecewaan tersebut. Semoga ada alternatif lain untuk membuat suatu konsep hubungan timbal balik yang lebih tulus.

Saya pernah melakukan survey kecil-kecilan kepada 138 followers instagram saya tentang timbal-balik kebaikan. Ternyata, hampir 90% responden yang merasa kebaikannya sering dilupakan, setuju pula bahwa kita lebih mudah mengingat keburukan orang lain dibanding kebaikannya. Untuk membuat suatu skenario yang objektif, dari hasil survey tersebut mari kita garis bawahi kedua hal tersebut: Kita lebih sering mengingat keburukan dan Kita sering merasa kebaikan kita dilupakan. Apakah kamu melihat kesesuaian dari dua hal itu? Mari kita bahas lebih lanjut.

Apabila kita setuju bahwa kita lebih mudah mengingat keburukan orang lain, maka menjadi suatu hal yang lumrah apabila orang lain juga lebih mudah mengingat keburukan kita. Hal ini menandakan bahwa hal-hal baik membutuhkan usaha yang lebih untuk mudah diingat. Hal ini membuktikan pula kalimat yang sering kita dengar; “Satu kesalahan melupakan beribu kebaikan”. Maka apakah masih ada kesempatan agar kita bisa saling berbuat baik dengan tulus? Jangan-jangan, seringnya suatu hubungan antar manusia itu mengecewakan, karena lebih mudahnya kita saling mengingat keburukan orang lain dibanding kebaikannya.

Hal ini bisa menjadi bahan renungan apabila kita mulai tertahan untuk berbuat baik kepada orang lain. Jika sesuatu yang menahan kita itu adalah ingatan keburukan orang tersebut, maka ingatlah juga, bahwa kita pun sering lupa terhadap kebaikannya. Mungkin jika kita mengingat kebaikan-kebaikannya, malah kita yang merasa perlu membalas budi. Namun jika kebaikan tersebut hanya berjalan satu arah, apakah tetap akan ada manfaat yang bisa kita dapat? Sepertinya hal ini menarik untuk kita bahas sembari mengingat kecintaan kita terhadap kucing dan rasa sepiring pecel. Dua hal itu, bisa sebagai bahan belajar kita untuk menjadi sosok yang lebih baik.

Sebenarnya tidak harus kucing, bisa apa saja jenis hewan peliharaan atau tanaman yang kita suka. Salah satu manfaat dengan memelihara hewan peliharaan adalah agar kita bisa menyalurkan rasa cinta kita tanpa bersyarat. Suatu perasaan yang murni penuh dengan empati antar sesama makhluk hidup. Apabila kita bisa melakukannya kepada hewan atau pun tumbuhan, mengapa tidak kita lakukan juga kepada sesama manusia?

Lalu apa yang dimaksud dengan mengingat rasa sepiring pecel? Sebenarnya sama seperti bahasan kucing sebelumnya. Kita bisa membayangkan makanan apa pun yang kita suka selain pecel. Bayangkan makanan tersebut disajikan di hadapanmu oleh seorang penjual atau koki favoritmu. Bayangkan bagaimana rasa dari makanan tersebut menggugah selera dan mood baikmu. Hal ini akan menyambung dengan konsep “Utang Rasa” yang diperkenalkan oleh Sujiwo Tejo, seorang budayawan Jawa.

Yang aku bayar pada tukang pecel hanyalah biaya produksi, waktu dan tenaganya. Rasaku ketika makan pecel dan berbagai sensasinya tak terbayar. Itulah utang rasa” mengutip kalimat Sujiwo Tejo dari laman jagokata.com. Dari konsep tersebut, kita diajarkan bahwa sebenarnya hidup ini adalah suatu hubungan saling utang rasa. Suatu perasaan yang tragisnya tidak mungkin terbayar, namun hal itu pula yang membuatnya indah. Dengan merasa berhutang, usaha kita untuk membayarnya adalah dengan melakukan kebaikan pula. Bukan hanya mengucapkan terimakasih atau pun perbuatan baik lainnya kepada penjual pecel sebelumnya, melainkan kepada masyarakat dan lingkungan juga.

Maka, kembali kepada pertanyaan apa yang akan kita dapat jika kebaikan itu hanya satu arah? Sebenarnya, imbalan dari berbuat baik itu sudah kita dapatkan dengan melakukan kebaikan itu sendiri. Hal itu lah yang dapat saya simpulkan dari salahsatu bab pada buku “Jangan Membuat Masalah Kecil Jadi Masalah Besar” karya Richard Carlson yang memiliki judul aslinya “Don't Sweat The Small Stuff... And It's All Small Stuff”. Termasuk ketika saya mengambil contoh kucing diatas, saya dapatkan dari buku ini.

Buku: Jangan Membuat Masalah Kecil Menjadi Masalah Besar

Apabila dengan berbuat baik tersebut dapat menimbulkan perasaan empati yang sama dengan melihat orang lain bahagia, maka itu sudah termasuk kedalam imbalan perbuatan baik kita. Atau hal-hal lainnya yang bisa saja tidak kita lihat, melainkan hanya orang lain yang dapat melihaatnya. Misal ketika orang lain terinsipirasi dan/atau termotivasi dari perbuatan kita. Bahkan hal tersebut dapat memberikan reputasi baik kita di mata mereka. Itu hanya beberapa contoh dari imbalan yang membuat kita bersyukur dari berbuat baik adalah perbuatan itu sendiri.

Dari konsep cinta tanpa syarat dan hidup yang merupakan jalinan utang rasa, semoga kita bisa meminimalisir hanya mengungkit-ungkit keburukan orang lain. Kalau kita masih percaya orang lain sering melupakan kebaikan kita, maka berbuat baiklah karena kita pun sama-sama ‘orang’ yang sering melupakan kebaikan orang lain. Ini saatnya kita membalas jalinan utang rasa tersebut.

Sebelumnya, saya sempat menyebut bahwa salahsatu dampak berbuat baik adalah mendapat reputasi. Maka, dari situ pula kita bisa mulai mempelajari salahsatu sisi dari dampak berbuat baik yang bisa menghasilkan dampak buruk. Misalnya, dapat membuat seseorang menjadi ketergantungan atau bahkan jika lebih ekstrem, melakukan pemerasan terhadap kita. Atau jika kita terlalu berorientasi mencari pada imbalan-imbalan kebaikan lainnya, malah mengakibatkan kita kecewa jika imbalan yang didapat tidak sesuai dengan ekspektasi.

Maaf jika sebelumnya kamu sudah bersemangat ingin berbuat baik, namun jadi dibuat bingung atau ragu karena paragraf diatas. Yang ingin saya sampaikan adalah, kita perlu memastikan pula, perbuatan baik kita apakah benar-benar menghasilkan kebaikan. Entah pada diri kita atau pun orang lain. Dampak buruk dari berbuat baik bisa diminimalisir dengan memastikan bahwa kita tulus dalam melakukannya. Dengan begitu, kita bisa belajar untuk tidak mengharapkan imbalan yang berasal dari orang lain.

Lalu bagaimana agar orang lain tidak ketergantungan terhadap kebaikan kita? Hal ini bisa kita pelajari dari bagaimana Nabi Muhammad SAW didatangi seorang peminta-minta. Yang intinya, bukannya beliau memberikan uang dengan cuma-cuma, melainkan malah mencontohkan cara membelah kayu dengan kapak. Dari sana Nabi Muhammad SAW meminta orang tersebut untuk melakukan hal serupa dan mencari kayu lagi lalu menjualnya sebagai kayu bakar.

Baca: Ketika Pemuda Anshar Datang Meminta-minta, Ia Disuruh Menjauh Selama 15 Hari

Dari sana kita bisa belajar cara berbuat baik yang dampaknya menghasilkan kebaikan berkesinambungan. Senada seperti jika ada orang yang meminta ikan, sebaiknya kita menunjukkan cara menggunakan kail dan tali pancing. Dibandingkan hanya memberi ikan secara cuma-cuma. 

Selain bentuk kebaikannya apa, kita juga harus memperhatikan berapa banyak yang bisa kita berikan secara realistis. Kita harus berhati-hati agar kebaikan yang kita lakukan tidak berdampak negatif pada diri kita atau hubungan sosial kita dengan orang lain. Misalnya, bantuan materi yang malah membuat kita kekurangan, atau perbuatan yang dianggap merendahkan orang lain. Niat awal memperkuat hubungan sosial, hal tersebut malah berdampak sebaliknya. 

Secara keseluruhan, berbuat baik sangat penting karena tidak hanya berdampak positif dalam lingkup kemanusiaan, tetapi juga pada diri sendiri. Namun, ingatlah untuk berbuat baik dengan tulus dan tidak mengharapkan imbalan apa pun. Perhatikan pula dampak apa saja dari tindakan yang kita lakukan. Bukan hanya dampak baiknya, namun kemungkinan-kemungkinan terburuknya. Semoga dengan terus mempraktikkan kebaikan, kita dapat menginspirasi diri kita sendiri, mau pun orang lain. Kita bisa mulai menjadikan konsep ini sebagai gaya hidup sehari-hari dan suatu kebiasaan baik.

Catatan: Ketika tulisan ini dibuat, bertepatan dengan saya mendapat kabar telah berpulangnya salahsatu Dosen kami di Teknik Geologi UNSOED, Bapak Dr. Rachmad Setijadi, S.Si., M.Si. Maka dari itu, tulisan ini saya dedikasikan untuk beliau, salahsatu orang baik yang meninggalkan dunia ini di hari dan bulan yang insyaAllah baik; Jumat, 21 April 2023 (30 Ramadhan 1444H). Semoga amal ibadah beliau diterima oleh Tuhan YME.

Bapak Dr. Rachmad Setijadi, S.Si., M.Si
Almarhum Bapak Dr. Rachmad Setijadi, S.Si., M.Si

Suka dengan blog ini? Kamu bisa berikan dukungan untuk membantu kami terus berkarya dengan memberikan tip melalui KaryaKarsa.com.

Baca juga tulisanku lainnya, sebuah pencarian tempat yang bisa kita jadikan tujuan untuk pulang di Makna Pulang dari Kehilangan Sebuah Kota

Terima kasih telah membaca artikel "Mengapa Orang Sering Melupakan Kebaikan dan Bagaimana Kita Menyikapinya dengan Berbuat Baik". Semoga bermanfaat. Berikan komentar atau share jika kamu menyukai tulisan ini. Kamu juga dapat membaca tulisan saya yang lainnya tentang pengalaman dan pengembangan diri di tiracerita.blogspot.com

Kamu bisa temukan saya di beberapa sosial media berikut
Instagram   @yudhistirahat
Twitter        @yudhistirahat 
LinkedIn     Idham Khaliq Yudhistira

Kata Kunci: Orang Melupakan Kebaikan

Komentar

Tulisanku lainnya yang mungkin Anda suka

Komet itu Hanya Melintas Setelah 6000 Tahun Lagi