Analogi lari bersama

Gue sedang tertatih-tertatih memaksakan diri untuk terus berlari ketika melihat stopwatch di hp telah menunjukan 15 menit.
"Ayo, jangan kasih kendor!" Dorongan kata-kata dari temen lari gue, Pradipa, yang posisinya tepat di samping gue.

Gue paksa terus kaki gue untuk berlari. "Ayo terus, Ayo terus, Kamu pasti bisa! Rasakan Dirimu terbakar!" Kali ini ia menyertai bumbu candaan utuk meneriaki gue.

Up! Up! Ampun! Gue akhirnya melambat.

"Aduh.. Ayo, Boey lanjut, lah!" Pradipa yang sebelumnya sempat mendahului gue sempat berbalik mengampiri sesaat.

Dia mengajarkan untuk joging dengan patokan terpenting adalah lama waktu dan peraturan agar percepatan lari tidak boleh menurun sejak awal, kecuali ingin menyudahi lari.

Gue ngosh-ngoshan, dia masih mengiringi gue, "Ayo lu pasti bisa! Ini baru setegah dari patokan kita!"

Foto: Dokumen Pribadi

Kata-kata Pradipa tidak gue indahkan. Gue berhenti.
"Lu berenti? Oke gue lanjut dulu, ya. Lu istirahat aja dulu disini." Pradipa melanjutkan larinya.

Dia ninggalin gue.

Gue duduk di trotoar, menunggu sampai waktu di stopwatch hp gue menujukan stengah jam. Rencana lamanya kami akan terus belari bersama. Gue mangap-mangap ngatur nafas sampai Dia akhirnya berhenti dan ikut istirahat samping gue.

"Dari joging kita tadi," Pradipa membuka pembicaraan. "Lu bisa mengenali siapa lawan lu?"

Hening sesaat.

"Elu lawannya, ya?" Jawab gue.
"Gua lawannya?" Pradipa tersenyum puas kecil. Seperti jawaban gue adalah harapannya. "Sekarang gue tanya, ketika lu mau menggapai impian, apakah lawan yang akan menyemangati lu? Meyakinkan bahwa lu pasti bisa?"

Gue diem.

"Itu yang disebut teman, bukan lawan. Lawan akan berkata bahwa impian lu adalah omong kosong. Lawan yang akan memberikan dorongan agar lu jatuh dan menyerah."
"Berarti, tadi lu sedang berperan sebagai kawan?"
"Kalo gue kawan, sekarang gue mau tanya lagi. Siapa lawannya?"

Gue diem. Lagi.
"Diri lu sendiri lah lawannya." Pradipa menjawab sendiri pertanyaannya tanpa menuggu gue menjawab. "Ketika lu akan berhenti berlari, apakah itu kehendak gue?"

Betul juga.
Jika seseorang menyuruh kita untuk jangan makan selama seminggu, lalu kita memutuskan untuk tidak makan dan jatuh sakit karena kelaparan, kita tidak bisa menyalahkan seseorang itu. Karena dia hanyakah opini dari luar diri kita. Kita lah yang pada akhirnya memutuskan akan apa? Menurutinya atau teguh pendirian; saya akan makan jika butuh makan.

Begitupun ketika tadi gue berlari.

Dari kejadian tadi gue belajar. Bahwa keputusan kita akan terus berlari atau berhenti adalah diri kita sendiri. Mau bagaimana pun dorongan dari luar diri agar kita tetap berlari, tidak akan terjadi jika kita memang ingin berhenti.

Begitu pun sebaliknya. Sekuat apapun dorongan dari luar diri agar kita menyerah, itu tidak akan terjadi jika kita memang ingin terus berusaha. Ini semua tentang keteguhan diri.

"Tapi kenapa tadi pas gue berhenti, lu ninggalin gue?"
Pradipa tersenyum... apa jawabannya?

(Tulis di kolom komentar jika kalian punya opini apakah kira-kira jawaban dari Pradipa :) Terimakasih.)

[ Jawabannya: Part 2 ]

---------------------------------------------------------------

Sebarkan jika Anda merasa tulisan ini bermanfaat. Silakan berkomentar untuk memberi kritik, saran, dan menambahakan opini.
Mohon maaf jika ada kesalahan, tulisan ini hanyalah berupa opini dari diri sendiri.
Temukan juga saya di
IG: @Yudhistirahat
Youtube : yudhistirahat

Komentar

  1. Jawaban paradipa: karena gue ingin terus maju. Bukankah waktu akan terus maju?
    Dan Seengganya gue udah menggugurkan kewajiban gue untuk mengajak lo untuk terus berlari

    "Iyaa juga," jawab gue

    BalasHapus

Posting Komentar

Tulisanku lainnya yang mungkin Anda suka

Mengapa Orang Sering Melupakan Kebaikan dan Bagaimana Kita Menyikapinya

Komet itu Hanya Melintas Setelah 6000 Tahun Lagi