Warung Tua Penjual Air Kemasan

Foto: instagram.com/hannachrt

Hari ini sangat panas seperti biasanya. Ku pikir membeli minuman dingin di tengah perjalanan pulang sekolahku akan membuat suasana lebih baik. Aku mampir ke sebuah warung di ujung belokan itu. Bangunannya tua, namun tidak terlalu kumuh. Jarang-jarang aku membeli di warung pinggir jalan seperti ini ketika yang biasa ku temukan adalah minimarket.

Bagian depannya digunakan untuk lapak menjual koran bekas. Aku memberi senyum kecil sembari menundukan sedikit kepalaku sebelum membuka pintu warung tersebut kepada seorang ibu yang sedang duduk di lapak itu.

Aw! Terdapat benda tajam saat ku dorong pintu kayu yang agak macet ini. Bekas gerusan berbentuk lengkungan yang sesuai alur gerak pintu di lantai memberi tahuku bahwa pintu ini sudah lama macet. Aku melihat ujung jari tengahku. Terdapat setitik luka seperti terkena ujung paku. Sedikit darah keluar dari luka itu. Aku tak terlalu memikirkannya. Aku usap darah itu dengan ibu jariku dan melanjutkan langkahku kearah meja kasir.

"Permisi" kataku kepada seorang bapak tua yang sedang memunggungiku dengan kepalanya mengadah keatas. Memperhatikan sebuah foto keluarga dengan figura kayu yang cukup besar tepat diatas etalase berisi biskuit dan jajanan ringan lainnya sebelum akhirnya beliau menoleh kearahku.


“Permisi, pak, saya mau beli air botol itu satu.”
Bapak penjaga warung itu membuka lemari pendingin di sampingnya. Pintu lemari yang transparan memperlihatkan bahwa di dalamnya berderet berbagai jenis merk dengan botol plastik sekali pakai. Lucunya mereka semua menjual isi botol yang sama: air tawar. 

Bapak menunjuk salahsatu air kemasan yang ku maksud. Tanpa perlu ku baca ulang merknya, aku mengangguk. Dari kemasannya saja aku sudah sangat kenal.  Tutup botolnya khas berwarna biru tersegel rapih dengan plastik. Maksudnya ingin memberitahu bahwa isinya masih murni.

“Iya, yang itu.” Kataku sembari mengambil lembaran uang 50.000 dari dalam dompet hadiah ulang tahunku semasa kecil.

Beliau mengambil satu dan meletakannya diatas meja putih yang sudah kusam, terbuat dari kayu mahoni yang sudah tua dengan coretan-coretan liar menghiasi tubuhnya. SUDAH TERLAMBAT. Salahsatu coretan yang tak sengaja terbaca olehku karena ditulis dengan mencolok. Warnanya merah kehitaman. Dari tinta yang digunakan dan cara menuliskannya tidak biasa. Seperti langsung ditulis menggunkan jari.

“Maaf tidak ada uang kecil, pak” Aku menyodorkan uang yang telah aku siapkan.
“Terlalu kecil? Uangmu yang jumlahnya terlalu kecil untuk membayar semua ini!” Nadanya meninggi.

Aku terpaku. Masih mencoba memahami apa yang dimaksud bapak itu. Memangnya berapa harga air ini? Mahal sekali sampai uangku tidak cukup.

BRAK! 
Dia menggenggam botol air yang ingin kubeli tadi dan menghentakkannya ke meja. Membuat benda-benda diatasnya serentak ikut bergerak. “Laut dan terumbu karang kesukaan mendiang istriku rusak. Kekeringan dimana-mana. Pemanasan global semakin parah. Kamu totalkan saja semua kerugian itu untuk mengira-ngira berapa harga yang pantas untuk dibayar agar aku yakin anakku akan selamat di masa depan!” Kepalanya tertunduk, namun seketika itu juga ia langsung mengarahkan pandangannya ke mataku. Tangan satunya lagi merogoh sesuatu di bawah mejanya.

Aku melemparkan uangku ke arahnya dan melupakan tujuanku untuk membeli air minum yang kini masih berada di genggaman bapak itu.  Dengan cepat aku mengambil langkah kearah pintu keluar. Perasaan tadi aku tidak menutup pintunya. Aku coba tarik gagang pintu itu sekuat tenaga karena panik.

"Ahh!" Aku segera menarik lenganku ketika mengetahui gagangnya dililit dengan kawat berduri. Tangan kananku bersimbah darah dengan seketika.

"Jadi tidak kamu membayarnya?" Sejak kapan bapak itu sudah berada di belakangku?! Aku menoleh ke arahnya dan ingatan terakhirku adalah aku dihantam oleh sesuatu yang sangat keras hingga aku tidak sadarkan diri.

Setelah aku terbangun, kakiku dalam keadaan di rantai. Ternyata, itu adalah hari pertamaku untuk menjadi pekerja paksa dari suatu organisasi yang bergerak untuk memulihkan kelestarian hutan. Setiap hari aku dipaksa menanam 300 pohon dengan bemodalkan cangkul dan tidak pernah diberi makan. Setiap kali aku meminta keadilan, seorang penjaga selalu meneriakkan kata-kata yang sama. Ia menggunakan Bahasa Rusia. Belakangan ini aku sudah paham bahwa kalimat yang diteriakkan itu hampir sama dengan yang bapak penjaga warung tanya, "Kamu mau membayarnya atau tidak?".

Hari ini sudah dua bulan. Aku sudah tidak mempermasalahkan keseharianku. Beberapa luka cambuk mengering dengan sendirinya. Dengan paksa, nalarku menerima bahwa semua ini memang pantas. Harga yang perlu dibayar tidak akan pernah cukup. Hingga hembusan nafas terakhirku, di pohon ke-223.

Selamat tinggal. Jangan sampai kau menyesal.

Baca: Membangun Support System Dari Jauh Selama Pandemi
---------------------------------------------------------------
Bantu kami untuk terus berkarya dengan Buy Me a Coffee

Terimakasih telah mampir di blog saya.
Sebarkan jika Anda merasa tulisan ini bermanfaat. 

Kritik dan saran terbuka lebar.
Tulisan ini hanyalah berupa opini dari diri sendiri.


Temukan saya di
Instagram: @yudhistirahat
Twitter: @yudhistirahat

Komentar

Tulisanku lainnya yang mungkin Anda suka

Mengapa Orang Sering Melupakan Kebaikan dan Bagaimana Kita Menyikapinya

Komet itu Hanya Melintas Setelah 6000 Tahun Lagi