Cerita Ragu dan Tawa Kerja Praktik Mahasiswa Teknik Geologi Unsoed di Wonosobo

Lebih dari satu tahun kami tidak melakukan aktivitas lapangan dalam perkuliahan akibat pandemi. Tak terasa, kami sudah tiba di fase sebagai Mahasiswa Teknik Geologi yang harus melaksanakan Kerja Praktik (KP) dan mengharuskan kami melakukan pemetaan geologi lapangan. Kebiasaan di dalam ruangan dan berinteraksi secara daring adalah suatu kontradiksi dari kegiatan pemetaan yang mengharuskan kami menyusuri alam dan hadir di tengah-tengah masyarakat.

Menyusuri sungai Lok Ulo

Foto: Menyusuri sungai Lok Ulo di lokasi penelitian (Dok. Falah Purnama Aji, 2021)

Sebagi gambaran, pemetaan geologi adalah kegiatan memproyeksikan kondisi geologi yang mencakup litologi batuan, struktur geologi, dan geomorfologi dari hasil observasi langsung di lapangan ke dalam sebuah peta geologi. Untuk melakukannya kami perlu mengambil data dengan menyusuri sungai, bukit dan lembah.

Jika di prodi kami, Teknik Geologi Unsoed, kegiatan tersebut diberi nama PKL, alias Praktik Kerja Lapangan yang selanjutnya mengharuskan kami menyusun laporan pemetaan geologi. Tentunya selain aktivitas tersebut, kami masih dapat mengajukan Kerja Praktek di perusahaan, seperti perusahaan tambang misal melalui magang kampus merdeka.

Dalam pelaksanaannya, demi efektifitas waktu dan tenaga biasanya kami disarankan menginap. Lamanya pemetaan bisa sampai dua minggu tergantung kondisi masing-masing. Artinya, kemampuan teori, praktek dan sosial di lapangan sangat diperlukan. Jika dijadikan rumusan masalah seperti dalam proposal kerja praktek geologi, mungkin akan berbunyi seperti ini:

a.       Apakah pemahaman Geologi kami mencukupi untuk mewakili penggiat ilmu kebumian hadir di tengah masyarakat?

b.      Apakah kemampuan praktik ilmu geologi kami di lapangan cukup sebagai bekal kami agar tidak ‘ngangong-ngangong’ di lapangan?

c.       Apakah kemampuan bersosial kami cukup untuk dapat diterima oleh masyarakat sekitar dan menyelidiki potensi geologi yang ada di daerah mereka?

Lokasi penelitiannya sendiri diberikan oleh kampus kepada setiap Mahasiswa di angkatan kuliah kami. Saya mendapatkan kapling paling tenggara. Tepatnya di Desa Kaliguwo, Kecamatan Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah. Setelah saya cek di Google Map, membutuhkan waktu 2 jam menuju kantor kecamatannya dari kampus kami yang berada di Purbalingga. Dan perlu tambahan 30 menit untuk tiba di Desa Kaliguwo.

Baca juga: Keindahan Alam Wonosobo yang Memanjakan Mata

“Uwes mas, jenengan nginep saja di basecamp SAR kecamatan kami. Disana anaknya masih muda dan baik-baik, saya yakin kalian akan cocok. Biar saya kenalkan ke koordinatornya, mas Habib. Sek yo ku telpon dulu” Tawaran dari Pak Subagyo, Camat Kaliwiro yang kami temui setelah kami memberikan surat jalan dari kampus. Menjelaskan bahwa benar kami adalah Mahasiswa yang sedang melaksanakan PKL.

Hari itu juga saya ingin sembari melakukan survey pendahuluan bersama teman saya, Khaerul. Niatnya pagi berangkat dan sore pulang lagi. Tidak lama setelah telpon ditutup, Mas Habib segera datang dan kami saling diperkenalkan kepada satu sama lain oleh Pak Subagyo.

“Bib, ini tolong dibantu Mas Yudhis untuk melakukan survey ke Desa Kaliguwo. Ajak lah satu atau dua personel untuk menemani”

Saya sangat senang mendapatkan bantuan tersebut, namun yang membuat saya kaget adalah ketika ksmi dibawa ke basecamp SAR sebelum berangkat dan setelah bercakap-cakap sebentar untuk saling mengenal personel disana, ternyata komando dari Mas Habib berbeda dari yang diamanahkan oleh Pak Subagyo.

“Ayo semua bersiap-siap! Kita menuju Desa Kaliguwo menemani Mas Yudhis!”

“SIAP!”

Waduh! Seluruh personel saat itu yang sedang bersiaga dengan gesit bersiap-siap. Totalnya ada tujuh personel SAR membawa empat motor mereka ditambah satu motor kami melaju beriringan di jalan-jalan Desa. Sirine berkumandang memecah arus lalu lintas yang ada di hadapan kami. Perjalanannya sekitar 20 menit.

Sebelum kami survei jalur motor untuk mengetahui cara mencapai seluruh lokasi yang masuk ke daerah penelitian, kami sowan terlebih dahulu ke Kepala Desa Kaliguwo. Beliau adalah Pak Paijo. Disana kami meminta ijin dan meminta bantuan untuk dicarikan tempat menginap selama dua minggu untuk pemetaan.

Disana pula kami menjelaskan ke Tim SAR yang sebelumnya kami sangat berterimakasih karena sudah dipersilahkan menginap di basecamp mereka untuk penelitian nanti. Namun kami berharap mendapatkan tempat menginap di dalam lokasi peneltitian untuk mempermudah akses pulang dan pergi sehari-hari. Tentunya rekan-rekan SAR dapat memahami hal itu.

Dari niat sebelumnya kami kesana hanya PP (pulang-pergi) dalam sehari, namun setelah kami tiba kembali di basecamp SAR, kami disarankan untuk menginap. Dengan sambutan mereka yang hangat, kami pun luluh dan merasa senang karena dapat diterima oleh mereka. Tidak tanggung-tanggung, pada akhirnya kami malah menginap tiga hari dua malam disana!

Salahsatu manfaat dari bersosial dengan warga sekitar adalah kita dapat mencari tahu keadaan alam sekitar dari mereka yang sudah tau seluk beluk daerah mereka. Ketika kami sudah mulai pemetaan di sebuah sungai, seorang petani menghampiri kami untuk bertanya apa yang sedang kami lakukan dan berbincang-bincang tentang ‘batu hati ayam’. Saya pun baru pernah dengar nama batu seperti itu. Itu disebut nama lokal, yaitu penamaan yang diberikan masyarakat sekitar dan belum tentu nama lokal di satu daerah sama dengan daerah yang lain.

“Nama saya Suwandri, Mari mas, main-main ke rumah saya, nanti saya tunjukkan batuannya seperti apa.”

Beliau menjelaskan letak rumahnya dimana dan berpamitan dengan kami untuk melanjutkan pekerjaannya. Sawah yang sedang digarapnya tidak jauh dari tempat kami berbincang. Kami masih bisa melihatnya bekerja dari tempat kami mengamati batuan disini. Kami pun melanjutkan pemetaan menyusuri sungai hingga ke hilirnya.

Setelah selesai pemetaan, kami mengunjungi rumah Pak Suwandri. Disana kami dijamu makan dengan sayur sop, mie rebus, tempe goreng dan teh manis. Sederhana, namun kebersamaan menambah kenikmatan yang kami rasakan setelah lelah seharian pemetaan.

Pak Suwandri menunjukan contoh ‘batu hati ayam’ yang berada di halaman rumahnya. Batu itu biasa digunakan sebagai hiasan kolam ikan oleh warga sekitar jelasnya. Warnanya memang seperti hati ayam. Setelah kami dekati, kami yakin nama asli batu tersebut adalah rijang. Sederhananya, rijang adalah batuan sedimen golongan silika yang terbentuk dari kumpulan cangkang diatom atau radiolarian yang hidup di air. Batuan ini biasanya terbentuk di bawah laut. Lantas mengapa sekarang berada di darat? Hehe, itu akan memiliki cerita yang menarik lainnya.

Baca juga: Batu Rijang dan Proses Pembentukannya

Semenjak kami berkenalan, dalam kesempatan di hari lain, terkadang Pak Suwandri mengunjungi basecamp kami. Disana ada pula Awang dan Kasih yang melakukan PKL juga. Tepatnya di lapangan Awang yang berada tepat di utara lapangan saya. Disana Pak Suwandri bercerita adanya suatu mineral di Kapling Awang.

“Mineral itu bisa ditemukan dimana pak?”

“Itu di daerah Kali xx mas”

Karena kami masih belum paham nama-nama lokasi di desa ini, kami pun diminta untuk menggambarkan denah jalan sesuai arahannya.

“Nah dari terminal itu, ada perempatan, ambil yang ke timur.”

Awang menggambar perempatan dan menarik garis lurus ke arah timur di buku lapangan kami.

“Dari situ lurus aja terus”

Oke, mulai terbayang. “Setelah itu kemana pak?” Tanya awang.

“Lurus aja terus itu emang agak jauh”. Awang pun masih lanjut menggambar garis lurus hingga menghabiskan halamannya.

“Lalu, kemana pak setelah lurus?”

“Iya, lurus aja terus”

Lho, gambar denah jalan yang Awang buat itu berskala atau bagaimana, ya? Kenapa garis lurusnya jadi panjang banget gini.

“Iya pak, maksudnya jika kami lurus terus selanjutnya harus kemana?” Tanya Kasih yang tersulut kesal. Hahaha kejadian yang lucu saat itu jika dipikir-pikir.

Banyak kejadian yang menghibur selama kami melakukan pemetaan dan tawa yang pecah di dalam basecamp ketika kami bertukar cerita apa yang terjadi di lapangan masing-masing di hari itu. Mau pun kejadian lucu lainnya yang terjadi di basecamp. Salah satunya kejadian ‘bertanya lokasi’ diatas.

Dari hari pertama ke lokasi pemetaan, saya saja sudah mendapat kejadian yang menggelitik terkait basecamp dan mencari tempat makan. Sebelum saya berangkat kesana, saya sudah berkomunikasi kembali melalui WhatsApp dengan Pak Paijo selaku kepala desa bahwa saya minta tolong untuk dicarikan tempat menginap.

“Iya, mas, ada. Silahkan mas bisa menginap di salahsatu rumah warga kami yang sedang kosong karena ditinggal kerja di luar negri.”

“Baik Terimakasih pak. Kalau untuk kompor kira-kira ada tidak ya pak? Karena jika belum ada kami rencananya mau bawa dari sini.”

“Ada mas, lengkap.”

Alhamdulillah jika begitu, kami menjadi tenang untuk kesana dan befikir kami tinggal bawa alat-alat pribadi. Namun Awang masih bersikukuh agar kami membawa kompor untuk jaga-jaga. Saya kira tidak perlu, karena akan repot jika membawa semakin banyak barang. Belum lagi sepulang dari sana kami perlu membawa sample-sample batuan. Artinya kami perlu menyiapkan ruang kosong sejak awal sebanyak mungkin untuk berjaga-jaga membawa pulang batuan tersebut nanti.

“Ga perlu broo.. Secara, ini tuh rumah orang yang kerjanya di luar negri, kebayang lah kayak gimana” Saat itu saya meyakinkan rekan-rekan lainnya.

Setelah kami dibukakan pintu rumah tersebut untuk pertama kalinya, ternyata hal modern yang dapat kami lihat hanyalah lampu, colokan listrik dan keran air. Sisanya kosong. Yup, rumah itu ternyata baru jadi, bahkan pintu kamarnya belum dipasang.

“Kebayang lah rumah orang luar negriii” Awang menggoda saya sembari menirukan gaya bicara saya kemarin.

“Kayaknya yang punya rumah ini kerjanya di Jepang bro, soale lesehan gini” Khaerul ikut menggoda dengan maksud bahwa disini semuanya berupa lantai. Untuk makan sampai tidur nanti kami lesehan semua.

Foto: Septian (1), Vonsa (2), Awang (3), Kasih (4), Falah (5) dan Saya (6) di depan Basecamp (Dok. Pribadi, 2021) 

Tawa kami semua pecah di sore hari tersebut. Menertawakan kenyataan yang tidak sesuai dari ekspektasi kami. Seharian itu, penuh kami gunakan untuk perjalanan, berkunjung ke pak camat, kepala desa dan menaruh barang-barang di basecamp. Saat itu pula kondisi saya sedang berpuasa, karena sudah sore saya mau mencari bahan berbuka. Juga untuk teman-teman yang lainnya yang sudah lapar.

“Wah kalo di Desa ini gak ada warung makan mas, pasar pun adanya Pasar Wage, buka hanya pada hari rabu” Mas Habib menjelaskan yang saat itu menemani kami ke basecamp. Waduh, pasar bukanya hari rabu, sedangkan ini masih hari senin.

Tidak ada pilihan lain, setelah Pak Kades dan Mas Habib berpamitan. Akhirnya, saya dan Awang mengendarai motor untuk mencari tempat yang berjualan makanan. Ternyata warung makan terdekat ada di Desa sebelumnya. 15 menit berkendara motor dari basecamp dengan jalan terjal dan kondisi sudah gelap. Tempat tersebut berupa warung Mie ayam. Walaupun rekan-rekan lebih berharap nasi, namun apa boleh buat, tidak ada pilihan lain. Warung itu pun sebenarnya sudah mau tutup.

“Alhamdulillah dapet makan.. hampir aja si Yudhis buka puasanya hari rabu” Khaerul menyambut makanan yang kami bawa. Sekali lagi tawa kami pecah saat itu.

Saya kira berbagai cerita hari pertama ini sudah selesai. Ternyata, masih ada kejadian lain: Air Mandi.

Setelah kami dijelaskan oleh Pak Panggung, pengurus rumah tersebut, bahwa sistem penyaluran air disini perlu diperhatikan. Di samping rumah kami terdapat pipa air yang berasal dari atas bukit dan bercabang dua. Dipercabangan tersebut terdapat tuas untuk mengatur ke salahsatu cabang mana air akan mengalir. Satu cabang berarah ke perkampungan yang berada di bawah kami. Dan cabang satunya berarah ke basecamp.

“Jika mas sudah tidak pakai air lagi, jangan lupa mengembalikan tuas ini ke asalnya agar orang-orang dibawah tidak kelamaan mati air.”

Omaewaaa.. Artinya keinginan memenuhi kebutuhan air kami akan berdampak pada matinya air di rumah-rumah warga yang berada di bawah! Dan itu suatu pertimbangan yang berat. Akhirnya, kami berusaha untuk menyalakan air di saat-saat (sepertinya) warga sedang tidak butuh. Kami kira itu ada di tengah malam. Sehingga sering pada tiap tengah malam kami alihkan aliran air ke basecamp untuik memenuhi bak mandi.

“Kebayang lah rumah orang luar negriii” Sekali lagi Awang menggoda saya dan membuat kami tertawa malam itu. Bajiguuur.. ada-ada saja hahaha.

Hari pertama. Yup, masih ada hari-hari lainnya…

Khaerul dan Schist
Foto: Khaerul dan singkapan sekis (Dok. Pribadi, 2021)

Dari hasil survey, menurut saya lapangan penelitian ini cukup menarik. Jika kamu tau jenis-jenis batuan, ternyata di lapangan saya dapat ditemukan setiap perwakilan dari seluruh jenis batuan; Batuan Beku, Sedimen, Metamorf, termasuk Piroklastik. Namun, tidak semuanya dalam bentuk singkapan seperti yang menempel di dinding-dinding sungai. Sejauh ini saya baru menemukannya berupa batu lepasan di sekitar sungai.

Apakah saya dapat menyusun setiap kepingan puzzle untuk menjawab sejarah geologi disini? Disamping itu semua, dari seluruh kejadian ini, setidaknya rumusan masalah (kekhawatiran) tentang kemampuan bersosialisasi semenjak pandemi dapat terjawab. Asalkan kami menjaga etika, jujur dan apa adanya, ternyata kami dapat diterima (semoga). Terimakasih kepada Pak Camat, Tim SAR, Pak Kades dan beberapa masyarakat yang kami temui.

Sembari mempersiapkan diri untuk penelitian, kami perlu menjawab dua rumusan masalah lainnya: Kemampuan Teori dan Praktek di Lapangan. Sehingga kami perlu mengingat lagi dasar-dasar pemetaan geologi. Namun, dari saat itu saya yakin, PKL ini akan menjadi kisah yang menyenangkan!

Baca juga: Tari Saman Bertiga Membayar Mimpi Untuk Tampil

Berikan dukungan untuk membantu kami terus berkarya dengan klik: Buy Us a Coffee.

Terima kasih telah membaca artikel "Ragu dan Tawa Cerita Kerja Praktek Mahasiswa Teknik Geologi Unsoed di Wonosobo". Semoga bermanfaat. Berikan komentar atau share jika kamu menyukai tulisan ini. Kamu juga dapat membaca tulisan saya yang lainnya tentang pengalaman dan pengembangan diri di tiracerita.blogspot.com

Temukan juga saya di sosial media
Instagram   @yudhistirahat
Twitter        @yudhistirahat 
LinkedIn     Idham Khaliq Yudhistira

Komentar

  1. Mantap mas! Keseruannya terasa meskipun sebagai pembaca saja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mas ragil sudah mampir dan membaca, semoga bermanfaat..

      Hapus
  2. Menarikk mas, lanjut atuuuh hari berikutnyaaa... Kayanya bakal tambah lebih asik, kayanya lho ya, kayanyaaaa.....
    Emang pasti sih👏🔥

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe.. Aamiin terimakasih mas Konye! Semoga jika ada kesempatan dan pemikiran dapat saya lanjutkan. Silahkan mampir ke tulisan-tulisan saya yang lain. Sselamat membaca.

      Hapus
  3. "Kebayang lah yaa rumah orang luar negri" 🤭

    Pelajaran pentingnya adalah kita harus selalu bersiap akan kemungkinan paling buruk.
    Anyway, terimakasih mas Yudhis ceritanyaa 🤙

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe betul, Sama-sama mas Gal.. terima kasih sudah mampir..

      Hapus
  4. Wah wah gada cerita mistisnya ini mass

    BalasHapus
  5. rumahnya bagus, menjadi penentu air satu kampung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali mas hehe butuh keputusan yang bijak

      Hapus
  6. Capek2 berburu emas dapetnya malah mas Suwandri o.o

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah.. dapat alternatif

      Hapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Tulisanku lainnya yang mungkin Anda suka

Mengapa Orang Sering Melupakan Kebaikan dan Bagaimana Kita Menyikapinya

Komet itu Hanya Melintas Setelah 6000 Tahun Lagi